Jumat, 12 Desember 2014

LEGENDA CERITA RAKYAT TENTANG GOLAN DAN MIRAH


" LEGENDA CERITA RAKYAT TENTANG GOLAN DAN MIRAH "

Di era yang serba modern dimana suatu generasi mudah membaur,informasi dan transformasi barang sangat cepat masih sering muncul berbagai pertanyaan dari berbagai kalangan terutama dari orang-orang di luar wilayah Kecamatan Sukorejo, misalnya:

Betulkah air dari Golan dan dari Mirah tidak mau bercampur? Orang akan mengalami kebingungan jika mebawa benda atau barang dari Golan ke Mirah dan sebaliknya? Orang Mirah tidak diperkenankan menanam kedelai? Orang Mirah tidak bisa membuat tempe? Orang Mirah dan orang Golan jika bertemu di tempat orang hajatan di mana saja, jalannya hajatan akan mengalami gangguan? Tidak akan terjadi perkimpoian antara orang Golan dan orang Mirah? Dan sebagainya.

Dari berbagai pertanyaan yang sering muncul, itulah penulis mencoba menelusuri dari cerita tersebut dengan mencari informasi kepada tokoh masyarakat yang penulis dianggap lebih mengenal dari fenomena cerita tersebut serta membaca buku cerita yang telah ada. Hasil penelusuran yang penulis lakukan antara lain sebagai berikut:

Pada zaman dahulu di suatu tempat terdapat seorang tokoh yang terkenal dengan gagah dan pemberani, punya ilmu kesaktian yang tinggi sehingga sangat disegani oleh orang-orang di sekitarnya. Beliau bernama Ki Honggolono. Di samping sebagai orang pemberani dan sakti Ki Honggolono juga sangat arip dan bijaksana, karena itu Beliau mendapat sebutan Ki Bayu Kusuma. Karena kelebihan-kelebihan yang dimilikinya Ki Honggolono diangkat sebagai Palang (Kepala Desa).

Dalam cerita ini Ki Honggolono mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Joko Lancur. Seperti halnya ayahnya Joko Lancur juga terkenal anak yang gagah dan pemberani. Sebagai anak orang yang terpandang, pada umumnya hampir semua keinginannya selalu terpenuhi.

Salah satu kegemaran Joko Lancur adalah sabung ayam (adu jago). Kemanapun ia pergi tak pernah terpisah dengan se ekor ayam jantan (jago) yang menjadi kesayangannya.

Pada suatu hari dalam lawatannya Joko Lancur menyabung ayam (jago) , dan tidak sengaja melewati suatu tempat yang bernama Mirah. Di tempat itulah ayam (jago) kesayangan yang akan disabung itu terlepas dari himpitannya, Joko Lancur. Maka sangat gundah dan gulana dalam benak hati si Joko Lancur, karena peristiwa itu. Joko Lancur berusaha untuk menangkap ayam (jago) kesayangannya. Berbagai upaya dilakukan namun, belum berhasil. Telah lama kesana kemari mencari ayam (jago) itu, akhirnya masuk rumah belakang (dapur) Ki Ageng Mirah ( Ki Honggojoyo), sebagai adik sepupu Ki Honggolono. Si Mirah Putri Ayu (Putri Ki Ageng Honggojoyo) yang sedang membatik, sangatlah terkejut, melihat ada se ekor ayam jantan (jago) yang memasuki rumahnya. Si Mirah Putri Ayu berhasil menangkap ayam (jago) yang memasuki rumahnya itu. Betapa sangat senangnya hati Si Mirah Putri Ayu karena ayam (jago) yang telah ditangkapnya, ternyata sangat jinak.

Tak lama kemudian datanglah pemuda tampan yang akan mencari seekor ayam (jago). Pemuda itu tiada lain adalah Si Joko Lancur, Putra Ki Ageng Honggolono. Betapa kagetnya hati Si Joko Lancur ketika melihat ayam (jago) yang telah lama dicarinya itu berada dalam bopongan seorang perawan yang cantik jelita, bak Bidadari turun dari Kahyangan. Orang-orang Mirah dan sekitarnya menganggap Mirah Putri Ayu sebagai Bunga Desa. Dan sering memanggil dengan julukan Putri Mirah Kencono Wungu. Si Joko Lancur tidak segera meminta jago kesayangannya itu, namun menjadi takjub dan heran karena melihat kecantikan Si Mirah Putri Ayu. Sebaliknya Si Mirah Putri Ayu juga demikian sangat terpesona atas ketampanan pemuda Si Joko Lancur.

Keduanya saling curi pandang, tegur sapa, saling perkenalan, berlanjut sampai jatuh cinta. Sama layaknya anak muda yang baru mendapat kenalan, mereka saling bercanda, ketawa bahagia. Di sela-sela candanya Si Joko Lancur bertanya, “Mengapa pamannya, Ki Honggojoyo tidak pernah memperkenalkan terhadap putrinya yang cantik jelita ini?” Ternyata memang Si Mirah Putri Ayu sebagai gadis pingitan, dilarang bergaul dengan pria dan tidak diperkenankan keluar rumah. Karena asyiknya bercanda keduanya sampai lupa waktu. Betapa kagetnya mereka berdua setelah mendengar Ki ageng Mirah berada di luar rumah. Si Mirah Putri Ayu segera menyerahkan ayam (jago) yang dibopongnya kepada Joko Lancur, dan dengan perasaan yang halus meminta Joko Lancur segera pulang, karena takut dan kawatir kalau nanti dimarahi ayahnya. Joko Lancur segera memenuhi permintaan Si Mirah Putri Ayu dan segera beranjak pulang. Ketika keluar dari rumah, Joko Lancur kepergok Ki Ageng Mirah, Joko Lancur menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Ki Ageng Mirah tidak bisa menerima apa yang ceritakan Si Joko Lancur. Joko Lancur dimarahi, dicaci maki dengan kata-kata yang tidak karuan, dan tidak enak di dengar, dikatakan pemuda yang tidak punya tata krama, tidak punya sopan santun, masuk rumah orang lain tanpa permisi dan sebagainya. Merasa bersalah Joko Lancur meminta maaf kepada Ki Ageng Mirah, dan menyesali perbuatannya itu. Dengan suaranya yang seram Si Joko Lancur dibentak agar segera meninggalkan dari hadapannya, pergi dari hadapanku gertak Ki Ageng Mirah. Akhirnya dengan perasaan yang gundah gulam dengan perasaan malu bercampur emosi, dengan langkah yang tertatih-tatih Si Joko Lancur meninggalkan rumah Ki Ageng Mirah. Namun dalam benak hatinya dia selalu ingat akan kecantikan Si Mirah Putri Ayu, putri Ki Ageng Mirah.

Waktu terus berjalan, Si Joko Lancur tidak seperti biasanya kemana saja tidak pernah pisah dengan ayam (jago) kesayangannya, setelah apa yang di alaminya itu, Joko Lancur selalu mengurungkan diri di dalam rumah, sering melamun karena dalam hatinya selalu teringat Si Mirah Putri Ayu wanita yang kini menjadi pujaannya.

Keadaan yang seperti ini akhirnya diketahui oleh Ayahnya Ki Ageng Honggolono. Selanjutnya Ki Ageng Honggolono bertanya kepada Si Joko Lancur tentang apa yang terjadi pada dirinya. Semula Si Joko Lancur tak mau mengatakan hanya diam apa yang sedang melanda dirinya.

Setiap hari Ki Ageng Honggolono melihat putera kesayangannya mempunyai sikap yang berbeda dari biasanya dia sering melamun, termenung, menyendiri, tidak makan, waktu malampun sering tidak tidur, dan yang paling merisaukan dia tidak mau mendekati si ayam (jago) kegemarannya. Maka terus didesaklah apa sebenarnya yang terjadi pada Si Joko Lancur.

Dengan desakan dari sang ayah tersebut maka akhirnya Si Joko Lancur mau mengaku/membuka mulut apa sebenarnya yang terjadi. Joko Lancur menyampaikan kepada sang ayah bahwa dirinya sedang jatuh hati pada seorang wanita yang cantik jelita sebagai pujaannya yaitu Si Mirah Putri Ayu, Putri dari Ki Ageng Mirah. Mendengar apa yang dialami puteranya sangat kaget Ki Ageng Honggolono. Karena Joko Lancur merupakan satu-satunya putra yang disayanginya, maka tidak merasa keberatan apa yang menjadi keinginan puteranya itu. Segeralah Ki Ageng Honggolono memerintahkan salah seorang muridnya untuk melamar Si Mirah Putri Ayu, putri Ki Ageng Mirah.

Berangkatlah utusan dari Ki Ageng Honggolono menuju Mirah untuk melamar Si Mirah Putri Ayu. Kedatangan utusan dari Ki Ageng Honggolono disambut dengan muka yang ceria oleh Ki Ageng Mirah, meskipun dalam benak hatinya tidak sudi mempunyai calon menantu seorang penjudi sabung ayam. Ki Ageng Mirah berupaya untuk tidak menerima lamaran Putra Ki Ageng Honggolono. Ki Ageng Mirah dengan cara yang halus agar tidak menusuk perasaan keluarga Ki Ageng Honggolono serta tidak menimbulkan pertikaian di kemudian hari, maka lamaran Si Joko Lancur diterima namun dengan syarat atau serahan yang harus dipenuhi oleh keluarga Ki Ageng Honggolono, adapun syarat yang harus dipenuhi antara lain yaitu :

1. Supaya dibuatkan bendungan sungai untuk mengairi sawah-sawah di Mirah
2. Serahan berupa padi satu lumbung yang tidak boleh diantar oleh siapapun, dalam arti lumbung itu dapat berjalan sendirinya.

Itulah siasat Ki Ageng Mirah dalam upaya untuk menggagalkan lamaran Si Joko Lancur. Syarat itu di luar batas kemampuan manusia biasa, maka segera pulanglah utusan Ki Ageng Honggolono. Sekembalinya dari Mirah, utusannya segera melaporkan apa yang disyaratkan oleh Ki Ageng Mirah. Untuk diterimanya lamaran kepada Ki Ageng Honggolono. Ki Ageng Honggolono sebenarnya mengerti semua apa yang dimaksudkan oleh Ki Ageng Mirah, dengan persyaratan yang seperti itu.

Ki Ageng Honggolono dengan muka yang garang dan sambil terkekeh-kekeh setelah mendengar laporan dari utusannya, Ki Ageng Honggolono tetap menyanggupi apa yang dipersyaratkan oleh Ki Ageng Mirah.

Dengan kesanggupan Ki Ageng Honggolono untuk memenuhi persyaratan tersebut, perasaan Ki Ageng Mirah merasa khawatir dan takut, jangan-jangan nanti Ki Ageng Honggolono bisa memenuhi persyaratannya itu. Dan untuk mengantisipasi hal tersebut Ki ageng Mirah berusaha untuk menggagalkan pembuatan bendungan serta pengumpulan padi-padi yang dilakukan oleh Ki ageng Honggolono untuk mengisi lumbung.

Sementara Ki Ageng Honggolono berusaha keras, dengan bantuan para murid-muridnya membuat bendungan serta mengumpulkan padi yang sangat banyak untuk mengisi lumbung. Berkat kerja kerasnya maka apa yang dilakukan Ki Ageng Honggolono dalam waktu yang singkat mendekati keberhasilan. Pembuatan bendungan berjalan terus, demikian juga pengumpulan padi juga lancar.

Dengan melihat apa yang dilakukan oleh Ki Ageng Honggolono, bagaimana dengan Ki Ageng Mirah? Ki Ageng Mirah menemukan strategi untuk menggagalkan apa yang dilakukan Ki Ageng Honggolono. Ki Ageng Mirah meminta bantuan kepada sahabat karibnya yang berwujud genderuwo, yang di perintahkan untuk mengganggu pembuatan bendungan dan serta untuk mencuri padi-padi yang telah dikumpulkan di lumbung, sehingga apa yang dilakukan Ki Ageng Honggolono mengalami hambatan/kegagalan.

Apa yang dilakukan genderuwo utusan dari Ki Ageng Mirah kiranya telah diketahui oleh Ki Ageng Honggolono. Maka dari itu Ki Ageng Honggolono tidak mau lagi mengisi lumbung dengan padi. Ki Ageng Honggolono menyuruh para murid-muridnya untuk mencari damen (jerami) dan titen (kulit kedelai) untuk mengisi lumbungnya. Dengan kesaktian yang dimilikinya oleh Ki Ageng Honggolono jerami dan kulit kedelai itu disabda menjadi padi.

Mengetahui isi lumbung yang sebenarnya, genderuwo itu yang tak lain utusan Ki Ageng Mirah tidak mau lagi mencuri padi yang ada dalam di lumbung itu. Lalu apa yang dilakukan dalam upaya untuk menggagalkan usaha yang dilakukan oleh Ki Ageng Honggolono? Genderuwo utusan Ki Ageng Mirah mengalihkan perhatiannya untuk mengganggu pembuatan bendungan yang akan digunakan untuk mengairi sawah-sawah di Mirah. Dengan gangguan genderuwo itu maka sering jebol bendungan yang telah dibuat oleh para murid-muridnya Ki Ageng Hongglono.

Rupanya penyebab kegagalan dalam pembuatan bendunganpun juga diketahui oleh Ki Ageng Honggolono. Maka Ki Ageng Honggolono juga meminta bantuan kepada sahabatnya yang berupa buaya untuk membuat bendungan. Datanglah berduyun-duyun buaya-buaya yang jumlahnya mencapai ribuan ekor. Buaya-buaya itu berjajar-jajar membentuk bendungan hingga bisa mengalirkan air ke sawah-sawah di Mirah. Genderuwo utusan Ki Ageng Mirah yang ingin menggagalkan dalam pembuatan bendungan itu tertangkap oleh buaya-buaya itu. Terjadilah peperangan yang hebat antara genderuwo dan buaya-buaya itu. Dalam pertempuran itu genderuwo dapat ditaklukkan, dan berjanji tidak akan mengganggu dalam pembuatan bendungan lagi. Sejak itulah pembuatan bendungan menjadi lancar dan segera selesai.

Semua yang dipersyaratkan oleh Ki Ageng Mirah sebagai serahan sudah dipersiapkan, Ki Ageng Honggolono menyabda lumbung yang berisi padi untuk berangkat sendiri, maka berangkatlah iring-iringan calon mempelai laki-laki, yaitu Si Joko Lancur putra Ki Ageng Honggolono yang diikuti juga oleh para murid-muridnya menuju Mirah.

Awal kedatangan calon mempelai laki-laki beserta para pengikutnya disambut baik oleh Ki Ageng Mirah. Namun Ki Ageng Mirah juga bukan orang sembarangan, Dia juga memiliki kesaktian ilmu yang sangat tinggi. Apa yang sebenarnya terjadi, Ki Ageng Mirah melihat sendiri adanya lumbung yang berisi penuh padi bisa berjalan sendiri, namun sebenarnya isinya bukan padi yang sesungguhnya, tetapi berupa damen dan titen (jerami dan kulit kedelai).

Dengan melihat hal tersebut, di hadapan para murid-muridnya, dan para tamu, Ki Ageng Mirah bersabda, “ Hai konco-konco kabeh, titenono ngisor, wigatekno ndhuwur” ( lihatlah bawah, dan tengoklah atas), dengan sabda tersebut, yang semula isi lumbung berupa padi dengan seketika berubah menjadi jerami dan kulit kedelai.

Dengan adanya peristiwa ini maka Ki Ageng Honggolono marah yang luar biasa, karena rencana perkimpoian puteranya Si Joko Lancur dengan Si Mirah Putri Ayu gagal. Maka terjadilah perang mulut antara Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya, dengan Ki Ageng Honggolono beserta pengikutnya. Bukan hanya percekcokan saja namun sampai adu fisik dan adu kesaktian.

Di saat peperangan itu terjadi, Si Joko Lancur mencari sang kekasihnya Si Mirah Putri Ayu yang cantik jelita, karena tak tahan menahan asmaranya, namun di balik itu mereka tahu semua peristiwa yang terjadi. Karena kegagalan cintanya mereka berdua mengambil keputusan untuk lampus diri (bunuh diri).

Masih bersamaan terjadinya peperangan, bendungan yang dibuat oleh ribuan buaya ambrol, maka terjadilah air bah atau banjir bandang yang amat dahsyat. Ribuan manusia hanyut terbawa arus air, yang menimbulkan bencana yang hebat di mana-mana mayat, bergelimpangan baunya sangat menyengat menusuk hidung.

Usai peperangan Ki Ageng Honggolono berhari-hari mencari putra kesayangannya Si Joko Lancur. Dalam pencariannya Ki Ageng Honggolono dengan perasaan duka yang mendalam karena putra kesayangannya di ketahui telah tewas bersama kekasihnya Si Mirah Putri Ayu dan ayam (jago) kesangannya. Kedua jasadnya sepasang kekasih kemudian dimakamkan bersama dan juga ayam (jago) kesangannya. Yang akhirnya makam itu diberi nama Kuburan Setono Wungu.

Memperhatikan dari semua peristiwa yang telah usai, di hadapan para murid-muridnya atau pengikutnya yang masih hidup, Ki Ageng Honggolon bersabda, antara lain:

1. Wong Golan lan wong Mirah turun-tumurun ora oleh jejodhohan ( Orang Golan dan Mirah beserta keturunannya tidak boleh diperjodohkan)
2. Isen-isene ndonyo soko Golan kang wujude kayu, watu, banyu lan sapanunggalane ora biso digowo menyang Mirah (Segala sesuatu barang-barang dari Golan tidak bisa di bawa ke Mirah)
3. Barang-barange wong Golan lan Mirah ora biso diwor dadi siji. (Semua barang dari Golan dan Mirah tidak bisa disatukan)
4. Wong Golan ora oleh gawe iyup-iyup soko kawul. (Orang Golan tidak boleh membuat atap dari jerami batang padi)
5. Wong Mirah ora oleh nandur, nyimpen, lan gawe panganan soko dele. (Orang Mirah dilarang menanam, menyimpan, dan membuat makanan dari bahan kedelai).

Usai menyampaikan sabdanya itu Ki Ageng Honggolono, menandaskan: “Sing sopo wonge nglanggar aturan iki bakal ciloko”. (Siapa saja yang melanggar aturan ini akan mendapat celaka). Dengan perasaan kesal, gundah, gulam juga cemas Ki Ageng Honggolono beserta para murid-muridnya dan pengikutnya kembali ke Golan.

Semenjak kehilangan putra kesayangannya, Ki Ageng Honggolono sering merenung, meratapi nasip putranya dalam hatinya selalu terbayang Si Joko Lancur putra kesayanganya. Di samping itu juga dia sering merenungi hidupnya yang tidak pernah merasakan kebahagiaan lahir dan batin meskipun dari segi materiil selalu kaya raya, harta melimpah ruah, dan mempunyai kesaktian yang tinggi. Ki Ageng Honggolono merasa dalam menjalani hidupnya selama ini dia sering hanya menuruti kebutuhan duniawi, dan sering tidak bisa menahan emosinya. Peperangan, pertikaian, mencari lawan menjadi suatu kebiasaan.

Dengan merenungi hidupnya Ki Ageng Honggolono yang seperti ini, akhirnya dia insyaf dan taubat serta berusaha untuk membenahi diri dalam menghabiskan sisa-sisa hidupnya. Ki Ageng Honggolono berangkatlah berguru atau mencari ilmu mendatangi seorang Kyai. Hari demi hari, bulan demi bulan,tahun demi tahun menghabiskan waktu untuk mengabdikan diri ke seorang kyai, Ki Ageng Honggolono akhirnya masuk agama Islam, beribadat sera mempelajari syareat-syareat Islam.

Dipandang sudah cukup dalam berguru mempelajari agama Islam, maka segera pulanglah untuk mneyebarkan ajaran Islam kepada warga masyarakatnya. Sebelum berpamitan pulang Ki Ageng Honggolono sempat menanyakan kepada kyainya, “Apakah ilmu-ilmu kesaktian yang diperoleh sebelum memeluk Agama Islam masih perlu dipertahankan?” Dari pertanyaan yang diajukan itu, Ki Ageng Honggolono mendapat kesimpulan jawaban, bahwa ilmu-ilmu kesaktian yang diperoleh sebelum masuk Islam tidak perlu dipertahankan. Sekembalinya Ki Ageng Honggolono, maka penyebaran Agama Islam berkembang dengan pesat di kampung halamannya. Dengan berkembangnya Islam, tercapailah cita-cita Ki Ageng Honggolono untuk bisa hidup dengan tentram, aman dan damai.

Karena usia sudah lanjut akhirnya Ki Ageng Honggolono setelah wafat, jasad Ki Ageng Honggolono dimakamkan di Desa Golan, Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo. ( Surono, Babad riwayat desa Golan 1997 )

Demikian juga Ki Ageng Mirah seusai peperangan, serta banyaknya para pengikutnya yang hanyut terbawa air bah atau banjir bandang saat terjadi periswa ambrolnya bendungan, beliaupun juga masuk agama Islam. Ki Ageng Mirah juga berguru kepada seorang Kyai, keberhasilannya dalam mempelajari agama Islam Ki Ageng Mirah juga menjadi seorang Kyai, dengan gelar Kyai Muslim, Ki Ageng Mirah juga berhasil mendirikan pondok pesantren.

Jumat, 28 November 2014

PERBEDAAN REOG PONOROGO DENGAN REOG KENDANG TULUNGAGUNG

Asal Usul Dan Sejarah Reog

Reog merupakan kata yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Mendengar kata Reog, orang langsung teringat pada kesenian rakyat dari Ponorogo, Jawa Timur, Indonesia. Sebuah kesenian Barongan yang berasal dari kulit kepala macan/singa dan bulu burung merak.Kesenian ini ditarikan oleh penari yang membawa Barongan dan menari sambil meliak-liukkan Barongan yang dibawa dengan menggigitnya. Semua kagum atas kekuatan gigi dan kelenturan penarinya.

Namun bagi masyarakat Trenggalek, Kabupaten di sebelah timur Kabupaten Ponorogo dan sebelah barat Kabupaten Tulungagung khususnya orang-orang tua, Reog adalah merupakan sebuah kesenian Tari Gendang yang dimainkan oleh 6 orang atau lebih dan diiringi gamelan. Ke-enam penari orang yang membawa gendang menari-nari sambil menabuh gendang yang dibawa masing-masing penari. Reog ini berasal dari Kabupaten Tulungagung. Dan Reog Ponorogo yang dikenal orang selama ini oleh masyarakat Trenggalek dinamakan Dadak Merak.



Arti Reog

Tidak ada dalam Kamus Sansekerta atau Jawa Kuno/Kawi yang bisa menjelaskan arti kata Reog. Pun dalam Prasati atau Lontar-Lontar Kuno tak ada yang menyebut Kata Reog. Kata Reog itu juga merupakan kata yang asing bagi masyarakat sekarang. Kata Reog bagi masyarakat Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung dan sekitarnya mungkin sudah lama didengar bahkan sebelum Indonesia lahir dan mungkin hanya di daerah 3 Kabupaten tersebut dan sekitarnya yang pertama mendengar dan mengucapkannya. Trenggalek adalah Kabupaten yang dahulu merupakan bagian dari Kabupaten Ponorogo dan Tulungagung(Ngrowo). Jadi kiranya akan lebih obyektif orang Trenggalek untuk mengartikan atau menilai  kata Reog yang ada di Ponorogo dan Tulungagung yang akan penulis bahas ini, daripada orang di daerah kedua Kabupaten tersebut. Kesenian Reog di Indonesia hanya ada di kedua Kabupaten tersebut namun berbeda bentuk dan model tariannya. Berangkat dari dua kesenian Reog yang berbeda tersebut penulis berpendapat , Reog adalah kesenian rakyat yang berbentuk tarian dan diiringi gamelan Jawa kemudian ditarikan beramai-ramai oleh orang biasa atau prajurit kerajaan. Fungsi awal dari kesenian ini sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap penguasa dan juga hiburan bagi rakyat. Berbeda dengan kesenian Kuda Lumping atau Jaranan/Jaran Kepang(orang Jawa Timur) yang pada awalnya berfungsi sebagai Ritual untuk Minta Hujan, Keselamatan, Pengobatan dan sebagainya.





Asal-Usul dan Sejarah Reog

Sampai sekarang penulis belum menemukan catatan sejarah sejak kapan Kata Reog digunakan. Kata Reog ada seiring dengan kesenian tersebut ada. Seperti tulisan di atas, Kata Reog tidak ada dalam Kamus Sansekerta atau Jawa Kuno/Kawi. Juga dalam Prasasti atau Lontar-Lontar Kuno peninggalan masa lalu. Kata Reog ada seiring perkembangan masyarakat khususnya masyarakat Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung dan sekitarnya. Tak ada yang tahu siapa pencipta pertama kali Kata Reog. Dia ada dengan sendirinya dan akan hilang jika sudah masanya.

Namun apa salahnya kita berpendapat dan benar atau salah hanya waktu yang bisa menjawabnya. Siapa tahu pengetahuan ini berguna bagi siapapun yang membutuhkannya. Sebelum sampai pada kesimpulan Asal Usul Dan Sejarah Reog, terlebih dahulu kita harus tahu cerita atau sejarah dari kedua Reog yang penulis bahas. Hal ini berguna sebagai bahan perbandingan.



1.Sejarah Reog Ponorogo



Banyak versi tentang Sejarah Reog Ponorogo namun penulis hanya mengambil versi yang mendekati kesamaan dengan Reog Tulungagung dari sudut sejarah atau historisnya. Dan yang penulis ambil adalah versi Majapahit karena versi inilah yang mendekati kesamaan.

Akibat dari Kekacauan di Pusat Pemerintahan Majapahit dan ketidakpuasan Para Punggawa Kerajaan, salah satu Punggawa menyingkir dari Pusat Kerajaan. Hal ini dikarenakan Raja Brawijaya lebih memperhatikan istri China-nya(Putri Cempa) dan mengabaikan pendapat dari Penasehat atau Punggawa Kerajaan. Punggawa ini menyingkir ke wilayah pinggir dari Kerajaan Wengker (Ponorogo). Wengker adalah Kerajaan Bawahan Majapahit dan tidak Logis jika Punggawa ini menyingkir ke Pusat Pemerintahan Wengker (Ponorogo sekarang). Dari bentuk Candi Brongkah yang ditemukan di Brongkah sebelah barat kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek, menurut penulis Candi Brongkah adalah Batas Wilayah Kerajaan Wengker dan Kediri. Jika pendapat penulis ini benar, artinya Wilayah Pinggir dari Kerajaan Wengker meliputi 12 Kecamatan di Wilayah Kabupaten Trenggalek karena dari situs yang ditemukan di Ponorogo, Pusat Kerajan Wengker ada di Wilayah Kabupaten Ponorogo sekarang. Dan wilayah yang sejak dahulu menjadi tempat pelarian Para Punggawa Kerajaan, Raja, Perampok dan tempat Pertapaan adalah Wilayah Kecamatan Kampak Trenggalek. Kenapa Kampak, karena wilayah ini terlindung oleh gugusan bukit-bukit kecil yang mengelilinginya sehingga aman untuk tempat perlindungan. Punggawa ini tidak puas dengan Raja dan ingin memberontak. Namun apa daya, kekuatan prajurit Majapahit jauh melebihi kekuatan pengikut Punggawa ini. Akhirnya muncul ide menciptakan kesenian untuk mengkritisi Raja Brawijaya. Sesuai Karakter Orang Jawa, mengkritik tidak mau secara langsung pada sasaran karena jika salah perhitungan akan mati konyol maka digambarkan dengan lambang atau gambaran. Muncullah penggambaran Kepala Singa/Macan dan diatasnya Burung Merak adalah Raja Brawijaya yang ditunggangi atau dikendalikan istri China-nya Putri Cempa. Para laki-laki yang berhias seperti perempuan dengan kuda lumping adalah penggambaran Prajurit Majapahit yang telah Loyo dan jatuh mentalnya seperti Prajurit Perempuan menunggang kuda dan menari-nari mengikuti titah Raja yang tak lagi berwibawa. Bujang Ganong adalah penggambaran dari Pujangga sendiri yang selalu menggoda Raja atau Barongan Merak dan menari-nari dengan lincahnya. Dari sinilah kesenian Reog Ponorogo muncul dan menyebar ke seluruh Kerajaan Wengker menjadi kesenian rakyat dan terus berkembang sampai sekarang. Sedang budaya Warog sendiri menurut penulis adalah Pendeta-pendeta Suci atau orang-orang Sufi dalam Islam yang mengawal Si Punggawa. Para Pendeta atau Warog ini tidak menikah dan jika menginginkan perempuan, maka dia mencari laki-laki muda yang didandani wanita untuk dijadikan kesenangan/Gemblak agar terhindar dari perbuatan zina. Para Gemblak ini dipelihara layaknya istri dan dimanja sampai Si Warog sudah tak membutuhkan lagi.

Dari sini penulis berkesimpulan secara Subyektif mungkin, karena tidak ada data ilmiah yang bisa jadikan pedoman, bahwa Reog Ponorogo pertama kali muncul dan dikembangkan dari wilayah Kampak Kabupaten Trenggalek kemudian menyebar ke seluruh Ponorogo. Ini jadi logis karena dari data sejarah, pada Jaman Kerajaan Surakarta dan Ngayogyakarta sampai Jaman Belanda wilayah Kawedanan Kampak, Trenggalek dan Karangan masuk dalam wilayah Kadipaten/Kabupaten Ponorogo kemudian memisahkan diri dan menjadi Kabupaten tersendiri ditambah wilayah dari Pacitan dan Tulungagung.



2.Sejarah Reog Tulungagung

Reog Tulungagung merupakan produk kesenian asli dari prajurit-prajurit Majapahit karena dari busana yang dikenakan sampai sekarang adalah ciri-ciri Majapahit. Ada Supit Urang, Merah Putih, dan itu adalah lambang-lambang Kerajaan Majapahit. Wilayah Tulungagung atau dahulu Jaman Majapahit dikenal dengan nama Boyolangu merupakan tempat pendadaran atau latihan prajurit-prajurit Majapahit. Tulungagung adalah tempat tinggal dan terbunuhnya Pangeran Kalang Putra Raja Brawijaya dari Selir atau Jaman dahulu disebut Lembu Peteng. Singkat cerita setelah para prajurit latihan perang dan untuk mengurangi kepenatan maka diciptakanlah sebuah kesenian Reog yang dimainkan oleh para prajurit dan diiringi gamelan. Berbeda dengan Reog Ponorogto, Reog Tulungagung memainkan Gendang yang berbeda-beda ukurannya dan ditabuh/dipukul berirama oleh 6 orang atau lebih dengan menari-nari. Semakin kencang pukulan Gendang maka permainan semakin ramai. Tujuan awal dari kesenian ini adalah murni hiburan bagi prajurit Majapahit yang kelelahan dari latihan atau sehabis berperang. Dari ini akhirnya berkembang menjadi kesenian rakyat dan menyebar ke seluruh wilayah Tulungagung dan sekitarnya.



Sejarah kedua Reog tersebut kiranya bisa memberi gambaran kepada kita, sejak kapan kata Reog muncul dan berkembang. Menurut penulis kata-kata Reog ada dan muncul sejak jaman Majapahit. Entah apakah sudah ada sejak Pra Majapahit atau sejak berdirinya Kerajaan Majapahit yang jelas kata-kata Reog sudah ada sebelum kata-kata Indonesia ada. Reog hadir dari rakyat dan tetap akan hadir bersama rakyat sebagai sebuah budaya perlawanan dan hiburan yang lahir dari hati nurani rakyat Jawa. Seperti pepatah, Jangankan Manusia,Cacing-pun akan menggeliat Jika Diinjak....Reog adalah Budaya yang lahir dari kondisi sosial pada jamannya..

reog kendang kas tulungagung

Reog Tulungagung



Reog Tulungagung
REOG TULUNGAGUNG
Reog Tulungagung merupakan gubahan tari rakyat, menggambarkan arak-arakan prajurit Kedhirilaya tatkala mengiringi pengantin “Ratu Kilisuci“ ke Gunung Kelud, untuk menyaksikan dari dekat hasil pekerjaan Jathasura, sudahkah memenuhi persyaratan pasang-girinya atau belum. Dalam gubahan Tari Reog ini barisan prajurit yang berarak diwakili oleh enam orang penari.
Yang ingin dikisahkan dalam tarian tersebut ialah, betapa sulit perjalanan yang harus mereka tempuh, betapa berat beban perbekalan yang mereka bawa, sampai terbungkuk-bungkuk, terseok-seok, menuruni lembah-lembah yang curam, menaiki gunung-gunung, bagaimana mereka mengelilingi kawah seraya melihat melongok-longok ke dalam, kepanikan mereka, ketika “Sang Puteri“ terjatuh masuk kawah, disusul kemudian dengan pelemparan batu dan tanah yang mengurug kawah tersebut, sehingga Jathasura yang terjun menolong “Sang Puteri“ tewas terkubur dalam kawah, akhirnya kegembiraan oleh kemenangan yang mereka capai.
Semua adegan itu mereka lakukan melalui simbol-simbol gerak tari yang ekspresif mempesona, yang banyak menggunakan langkah-langkah kaki yang serempak dalam berbagai variasi, gerakan-gerakan lambung badan, pundak, leher dan kepala, disertai mimik yang serius, sedang kedua tangannya sibuk mengerjakan dhogdhog atau tamtam yang mereka gendong dengan mengikatnya dengan sampur yang menyilang melalui pundak kanan. Tangan kiri menahan dhogdhog, tangan kanannya memukul-mukul dhogdhog tersebut membuat irama yang dikehendaki, meningkahi gerak tari dalam tempo kadang-kadang cepat, kadang-kadang lambat. Demikian kaya simbol-simbol yang mereka ungkapkan lewat tari mereka yang penuh dengan ragam variasi, dalam iringan gamelan yang monoton magis, dengan lengkingan selompretnya yang membawakan melodi terus-menerus tanpa putus, benar-benar memukau penonton, seakan-akan berada di bawah hipnose.
Busana penari adalah busana keprajuritan menurut fantasi mereka dari unit reog yang bersangkutan. Di Tulungagung dan sekitar, bahkan sampai di luar daerah Kabupaten Tulungagung, sekarang sudah banyak bersebaran unit-unit reog sejenis, dan mereka memiliki seleranya masing-masing dalam memilih warna. Unit-unit yang terdiri dari golongan muda usia, biasanya memilih warna yang menyala, merah misalnya.
Sebuah unit reog dari desa Gendhingan, Kecamatan Kedhungwaru, Kabupaten Tulungagung, beranggotakan orang-orang dewasa, bahkan tua-tua. Mungkin karena kedewasaannya itu mereka sengaja memilih warna hitam sebagai latar dasar busananya, sedang atribut-atributnya berwarna cerah. Busana itu terdiri atas:
  1. Baju berlengan panjang, bagian belakang kowakan untuk keris. Sepanjang lengan baju diberi berseret merah atau kuning, juga di pergelangan.
  2. Celana hitam, sempit, sampai di bawah lutut. Di samping juga diberi berseret merah memanjang dari atas ke bawah.
  3. Kain batik panjang melilit di pinggang, bagian depan menjulai ke bawah. Sebagai ikat pinggang digunakan setagen, kemudian dihias dengan sampur berwarna.
  4. Ikat kepala berwarna hitam juga, diberi iker-iker (pinggiran topi) tetapi berbentuk silinder panjang bergaris tengah 3 cm, dililitkan melingkari kepala. Warnanya merah dan putih.
  5. Atribut-atribut yang dipakai:
    • kacamata gelap atau terang;
    • sumping di telinga kanan dan kiri;
    • epolet di atas pundak, dengan diberi hiasan rumbai-rumbai dari benang perak;
    • sampur untuk selendang guna menggendong dhogdhog;
    • kaos kaki panjang.
Busana yang dikenakan oleh unit reog dari golongan muda usia, tidak jauh berbeda, hanya warna mereka pilih yang menyala, disamping hiasan-hiasan lain yang dianggap perlu untuk “memperindah“ penampilan, misalnya rumbai-rumbai yang dipasang melingkar pada iker-iker. Dalam pada itu pada kaki kiri dipasang gongseng, yaitu gelang kaki yang bergiring-giring. Tentang gamelan yang mengiringi dapat dituturkan sebagai berikut. Keenam instrumen dhogdhog, sebangsa kendhang atau ketipung, tetapi kulitnya hanya sebelah, yang ditabuh oleh penarinya sendiri, terbagi menurut fungsinya: dhogdhog kerep, dhogdhog arang, timbang-timbangan atau imbalan, keplak, trentheng dan sebuah lagi dipukul dengan tongkat kecil disebut trunthong. Di luar formasi ini ditambah dengan tiga orang pemain tambahan sebagai pemukul kenong, pemukul kempul, dan peniup selompret. Kenong dan kempul secara bergantian menciptakan kejelasan ritma, dan selompret membuat melodi lagu-lagu yang memperjelas pergantian-pergantian ragam gerak.
Berbeda dengan Reog Tulunggung yang ada di desa Gendhingan, pada reog sejenis di desa Ngulanwentah, Kabupaten Trenggalek, si penabuh kenong tidak mengambil tempat kumpul bersama kedua rekannya penabuh, melainkan ikut di arena, walaupun tidak menari, hanya mondar-mandir, atau berjalan keliling, atau menyelinap di antara keenam penrinya, sembari memukul kenong yang diayunkan ke depan dan ke belakang. Ia pun mengenakan busana serupa dengan busana penari, hanya dengan warna lain, dan tanpa iker-iker pada ikat kepalanya.
Lagu-lagu pengiringnya dipilih yang populer di kalangan rakyat, misalnya Gandariya, Angleng, Loro-loro, Pring-Padhapring, Ijo-ijo, dan lain-lain. Terdapat kecenderungan pada reog angkatan tua, (khususnya yang ada di desa Gendhingan), untuk menggunakan irama lambat dan penuh perasaan, yang oleh angkatan mudanya agaknya kurang disukai. Mereka, angkatan muda ini, lebih senang menggunakan irama yang “hot”, sesuai dengan gejolak jiwanya yang “dinamik”. Dalam hal ini AM Munardi menuliskan tanggapannya sebagai berikut:
Legendanya tarian itu mengiring temanten. Memang peristiwa ritual kita pada masa lampau tidak terlepas dari existensi tari. Sampai sekarang Reog Kendhang (= Reog Tulungagung, S.Tm.) juga sering ditampilkan orang dalam kerangka pesta perkawinan atau khitanan.
Dalam perkembangan akhir-akhir ini kemudian dipertunjukkan dalam pawai-pawai besar untuk memeriahkan hari-hari besar nasional. Untuk kepentingan yang akhir inilah kemudian orang membuat penampilan tari Reog Kendhang identik dengan “drum-band”. Maka gerak-gerik yang semula dirasa refined dan halus, cenderung dibuat lebih keras dan cepat. Derap-derap genderang ditirukan dengan pukulan-pukulan dhogdhog. Terompet bambu-kayu semacam sroten itu pun ditiup dengan lagu-lagu baru. Akibatnya musik diatonis itu pun dipaksakan dalam nada-nada pelog pentatonis.
Dalam timbre yang tak mungkin berkualitas sebuah drum-band modern, maka cara seperti itu menjadi berkesan dangkal. Pada suatu kesempatan menonton pertunjukan Reog Kendhang di Desa Gendhingan, Kecamatan Kedhungwaru, Tulungagung, maka terasa benarlah bahwa proses penampilan Reog Kendhang yang pada umumnya dipopulerkan oleh para remaja itu cenderung menuju pendangkalan.
Penampilan oleh para penari golongan tua di desa tersebut terasa benar bobotnya. Geraknya yang serba tidak tergesa-gesa lebih memperjelas pola tari yang sesungguhnya cukup refined. Kekayaan pola lantainya terasa benar menyatu dengan lingkungan.
Memperbandingkan Reog Kendhang di Gendhingan ini dengan Reog Kendhang para remaja pada umumnya menjadi semakin jelas adanya keinginan untuk tampilnya garapan-garapan baru, tetapi tidak dimulai dengan pendasaran yang kokoh. Ya, kadang-kadang orang terlalu cepat mengidentikkan arti “dinamika” dengan gerak yang serba keras dan cepat.

Kamis, 27 November 2014

SEJARAH KESENIAN REOG

Dahulu raja di kediri mempunyai putri yang amat sangat cantik. Yang bernama Dewi Ragil kuning. Banyak pangeran ingin menjadi suaminya, salah satunya adalah pangeran dari ponorogo yang bernama Raden Klono Sewandono. Oleh karena itu Dewi Ragil Kuning menjadi bingung akhirnya Dewi Ragil Kuning mengadakan sayembara. Yaitu menujukan pementasan yang belum pernah di lihat oleh Dewi Ragil Kuning dan kedua orang tuanya. Di sayembara itu ada 3 hal yang harus di penuhi. Yaitu 
1.        1000 pasukan berkuda lengkap dengan penunggangnya
2.       Arak –arakan yang memakai baju hitam dan kelihatan sangar
3.        Dua kepala hewan dalam satu tubuh.
Semua pun berlomba-lomba untuk memenangkan sayembara itu. Raden Klono Sewandono sudah memenuhi syarat pertama dan kedua. Waktu perjalanan menuju kediri. Raden Klono Sewandono dan rombongan dari Ponorogo di cegat oleh raja Singo Barong. Raja singo barong mengajak raden klono sewandono berkelahi. Pada saat itu radenklono sewandono yang marah menanggapi ajakan raja singobarong. Pada saat berkelahi tiba-tiba raja singo barong merasa gatal gara-gara kutu di rambutnya,ia pun memanggil dadak merak yang selalu bersamanya. Saat merak memakan kutu yang ada di kepala raja singo barong,pada saat itulah raden klono sewandono memenuhi sayembara yang ke tiga yaitu hewan berkepala dua dalam satu tubuh. Raden klono sewandono menyatukan merak dan raja singo barong. Raden Klono sewandono dan rombongan pun melanjutkan perjalanan menuju kediri dengan 3 syarat yang telah di penuhi. Sesampainya disana pertunjukan di pertontonkan dan Dewi Ragil Kuning beserta orang tuanya menyukai pertunjukan itu. Lalu Raden Klono Sewandono di tanya oleh ibu Dewi apakah nama dari pertujukan ini. Raden pun menjawab pertunjukan ini saya beri nama REOG PONOROGO karena kami berasal dari ponorogo
 
Pemain Pemain Dalam Seni Reog Ponorogo


Jathil

Jathilan (depan)
Jathil adalah prajurit berkuda dan merupakan salah satu tokoh dalam seni Reog. Jathilan merupakan tarian yang menggambarkan ketangkasan prajurit berkuda yang sedang berlatih di atas kuda. Tarian ini dibawakan oleh penari di mana antara penari yang satu dengan yang lainnya saling berpasangan. Ketangkasan dan kepiawaian dalam berperang di atas kuda ditunjukkan dengan ekspresi atau greget sang penari.
Jathilan ini pada mulanya ditarikan oleh laki-laki yang halus, berparas ganteng atau mirip dengan wanita yang cantik. Gerak tarinya pun lebih cenderung feminin. Sejak tahun 1980-an ketika tim kesenian Reog Ponorogo hendak dikirim ke Jakarta untuk pembukaan PRJ (Pekan Raya Jakarta), penari jathilan diganti oleh para penari putri dengan alasan lebih feminin. Ciri-ciri kesan gerak tari Jathilan pada kesenian Reog Ponorogo lebih cenderung pada halus, lincah, genit. Hal ini didukung oleh pola ritmis gerak tari yang silih berganti antara irama mlaku (lugu) dan irama ngracik.

Warok

Warok Ponorogo
"Warok" yang berasal dari kata wewarah adalah orang yang mempunyai tekad suci, memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. Warok adalah wong kang sugih wewarah (orang yang kaya akan wewarah). Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik.Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin).
Warok merupakan karakter/ciri khas dan jiwa masyarakat Ponorogo yang telah mendarah daging sejak dahulu yang diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi penerus. Warok merupakan bagian peraga dari kesenian Reog yang tidak terpisahkan dengan peraga yang lain dalam unit kesenian Reog Ponorogo. Warok adalah seorang yang betul-betul menguasai ilmu baik lahir maupun batin.

Barongan (Dadak merak)


Barongan (Dadak merak) merupakan peralatan tari yang paling dominan dalam kesenian Reog Ponorogo. Bagian-bagiannya antara lain; Kepala Harimau (caplokan), terbuat dari kerangka kayu, bambu, rotan ditutup dengan kulit Harimau Gembong. Dadak merak, kerangka terbuat dari bambu dan rotan sebagai tempat menata bulu merak untuk menggambarkan seekor merak sedang mengembangkan bulunya dan menggigit untaian manik - manik (tasbih). Krakap terbuat dari kain beludru warna hitam disulam dengan monte, merupakan aksesoris dan tempat menuliskan identitas group reog. Dadak merak ini berukuran panjang sekitar 2,25 meter, lebar sekitar 2,30 meter, dan beratnya hampir 50 kilogram.

Klono Sewandono

 
 
Klono Sewandono atau Raja Kelono adalah seorang raja sakti mandraguna yang memiliki pusaka andalan berupa Cemeti yang sangat ampuh dengan sebutan Kyai Pecut Samandiman kemana saja pergi sang Raja yang tampan dan masih muda ini selalu membawa pusaka tersebut. Pusaka tersebut digunakan untuk melindungi dirinya. Kegagahan sang Raja di gambarkan dalam gerak tari yang lincah serta berwibawa, dalam suatu kisah Prabu Klono Sewandono berhasil menciptakan kesenian indah hasil dari daya ciptanya untuk menuruti permintaan Putri (kekasihnya). Karena sang Raja dalam keadaan mabuk asmara maka gerakan tarinyapun kadang menggambarkan seorang yang sedang kasmaran.

Bujang Ganong (Ganongan)

 
 
Bujang Ganong (Ganongan) atau Patih Pujangga Anom adalah salah satu tokoh yang enerjik, kocak sekaligus mempunyai keahlian dalam seni bela diri sehingga disetiap penampilannya senantiasa di tunggu - tunggu oleh penonton khususnya anak-anak. Bujang Ganong menggambarkan sosok seorang Patih Muda yang cekatan, berkemauan keras, cerdik, jenaka dan sakti.

Kontroversi

Tarian sejenis Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan tetapi memiliki unsur Islam. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, yaitu topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak. Deskripsi dan foto tarian ini ditampilkan dalam situs web resmi Kementerian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia.
Kontroversi timbul karena pada topeng dadak merak di situs resmi tersebut terdapat tulisan "Malaysia" dan diakui sebagai warisan masyarakat keturunan Jawa yang banyak terdapat di Batu Pahat, Johor dan Selangor, Malaysia. Hal ini memicu protes berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang menyatakan bahwa hak cipta kesenian Reog telah dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004, dan dengan demikian diketahui oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.Ditemukan pula informasi bahwa dadak merak yang terlihat di situs resmi tersebut adalah buatan pengrajin Ponorogo. Ribuan seniman Reog sempat berdemonstrasi di depan Kedutaan Malaysia di Jakarta. Pemerintah Indonesia menyatakan akan meneliti lebih lanjut hal tersebut.
Pada akhir November 2007, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain menyatakan bahwa Pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya asli negara itu. Reog yang disebut "Barongan" di Malaysia dapat dijumpai di Johor dan Selangor, karena dibawa oleh rakyat Jawa yang merantau ke negeri tersebut sebelum pembentukan negara Indonesia, menjadikan migran itu tidak termasuk sebagai warga negara Indonesia.